Mantan atlet petinju nasional Suyanto (49) berucap syukur atas pekerjaan dan hasil jerih payah yang diperolehnya. Sebab, nasib sahabatnya yang juga sesama mantan petinju nasonal, Hasan Lobubun, justru lebih memprihatinkan dan nelangsa.
Suyanto yang mempunyai nama di ring Yanto de Villa mengaku mengenal betul kehidupan sahabatnya itu. Sebab, ia dan Hasan telah bersahabat sejak sama-sama berlatih dan tinggal di Sasana Arseto besutan Taurino Tidar di Jalan Taman Tanah Abang III, Jakarta Pusat.
Suyanto mengisahkan, perjalanan hidup seorang Hasan Lobubun menjadi petinju profesional hingga menjadi pemulung ibukota sebelum diboyong oleh keluarga ke kampung halaman, Ambon, Maluku.
Awalnya, Hasan saat berusia sekitar 15 tahun dibawa oleh pamannya yang seorang anggota TNI dari kampung halaman, Ambon, ke Sasana Arseto, di Jakpus, pada 1980.
"Waktu itu, saya sudah gabung di Sasana Arseto dan sedang nongkrong di pos RW dekat sasana. Lalu, saya didatangi om-nya yang bawa Hasan, dia tanya lokasi rumah Taurino Tidar.
Nah, sejak itu dia tinggal di mess sasana. Awal karir, prestasinya lumayan," kata kata mantan petinju nasional yang punya julukan di ring 'Yanto de Villa' itu saat ditemui di Muay Thai Camp, Bilangan Jalan Taman Sari Raya, Jakarta Barat, akhir pekan lalu.
Sejumlah prestasi pernah diukir oleh Hasan sepanjang berkarir di dunia tinju. Puncaknya, ia menyabet Juara nasional kelas Bantam Yunior (50,8 Kg) pada 1987.
Menurut Suyanto, baik dirinya maupun Hasan, dielu-elukan banyak pihak saat masa kejayaan kala itu. Bonus pun kerap mengalir kepadanya kala menang KO suatu pertandingan.
"Saya dan Hasan waktu berprestasi, nggak banyak rasa sukanya. Paling dapat dana dari promotor sama bos yang hobi tinju. Kalau menang KO, dapat dari promotor atau bos Rp100 sampai Rp200 ribu. Saat itu sudah besar," ujarnya.
"Kami sama-sama tinggal di mess Sasana Arseto. Waktu berprestasi, Taurino Tidar mengajarkan para atlet untuk menabung. Tapi, namanya kita masih muda agak bandel, kurang ikuti nasihatnya, jadi uangnya paling dapat Rp100 ribu dipakai untuk biaya sehari-hari dan jajan. Lagipula, kami bertanding tidak setiap hari atau setiap minggu," sambungnya.
Hasan berpindah-pindah sasana untuk mematangkan kemampuan olahraga tinju sebelum akhirnya masa-masa sulit menderanya pada 1990. Beruntung, pemilik Sasana Arseto, Taurino Tidar bersedia menampungnya.
Tidak adanya pekerjaan tetap dan pemasukan membuat istri dan dua anak meninggalkan Hasan. Mereka berpisah sejak 1993.
Demi memenuhi kebutuhan hidup, akhirnya Hasan lebih sering meninggalkan Sasana Arseto untuk mencari pekerjaan serabutan, mulai menjadi tukang parkir hingga menjadi pemulung.
Setelah Hasan memilih hidup menjadi pemulung, Suyanto dengan alasan sama untuk memenuhi kebutuhan hidup juga beralih profesi sebagai pedagang rokok. Bermodal gerobak, ia menjajakan rokok, makanan dan minuman ringan di tepi taman atau sekitar 50 meter dari Sasana Arseto.
"Hasan lebih dulu keluar dari Sasana Arseto. Dia sudah lebih 10 tahun jadi memulung dan tinggalnya tidak jelas. Malam dan siang dia memulung. Dia pernah cerita paling dapat Rp20 ribu dari menjual barang-barang yang dipulungnya di seputar Jalan Taman Tanah Abang III," jelas Suyanto.
Di sela aktivitasnya mengais barang rongsokan, Hasan kerap mampir untuk sekadar berteduh dan mengobrol dengan Suyanto di gerobak warung rokok tempatnya berdagang di tepi taman.
"Jadi, Hasan lebih dulu keluar dari Sasana Arseto dan memulung. Baru kemudian saya keluar dan buka warung rokok pakai gerobak di pinggir taman dekat Sasana Arseto," kenang Suyanto.
Menurutnya, sebagian besar warga Jalan Taman Tanah Abang III mengenal Hasan adalah mantan atlet tinju nasional karena memang telah lama tinggal di wilayah tersebut. Iba atau rasa kasihan tak cukup membantu Hasan sehingga ia terus melakoni pekerjaan sebagai pemulung di kawasan perumahan itu.
"Banyak warga kasihan dengan Hasan yang keliling jadi pemulung. Tapi, mereka juga nggak bisa bantu apa-apa," ujarnya.
"Saya juga kasihan, miris waktu lihat nasib Hasan. Dia tidurnya pindah-pindah, mengemper. Dia pernah tidur di lantai puskesmas dekat taman tanpa alas," sambungnya.
Suyanto menegaskan, baik dirinya maupun Hasan menjadi seorang petinju bukan dilatarbelakangi untuk mengejar materi. Hal itu semata untuk menyalurkan hobi dan kemampuan bertinju.
Menurutnya, saat ini baik dirinya maupun Hasan sebagai mantan petinju telah mengalami kerusakan saraf sebagai efek dari sejumlah pertandingan tinju. Dan itu pun telah disadari sejak awal menjadi saat mengawali karir sebagai petinju.
"Hasan lebih parah lagi dibandingkan saya. Karena selain daya ingat dan pendengaran yang berkurang, saraf di otaknya juga rusak. Dia sulit nyambung kalau diajak komunikasi sama orang lain. Tapi, saya sudah kenal lama dengan dia sehingga mengerti maksudnya saat sedang mengobrol dengannya," ujarnya.
Menurut Suyanto, baik dirinya maupun Hasan kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah kendati presiden dan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) telah beberapa kali berganti.
Seingatnya, dirinya hanya sekali diundang ke Istana Negara untuk bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat kepemimpinan Menpora Adhiyaksa Dault pada 2007. Pun saat itu tidak ada tindaklanjutnya.
Ia mengaku pernah ditawari oleh pihak Kemenpora disediakan kios di salah satu blok Pasar Tanah Abang untuk berjualan pakaian. Namun, ia tidak bisa menerimanya lantaran kekhawatiran merugi mengingat dirinya tidak berpengalaman berjualan pakaian dan tak mempunyai modal.
"Kemenpora dan pemerintah nggak ada perhatian kepada kami. Yah, meski kecewa, ini sudah risiko. Tapi, saya lebih kecewa lagi dengan aparat di Jakarta karena gerobak warung rokok saya diangkut. Padahal, saat itu gerobak itu jadi satu-satunya saya tempat saya untuk menyambung hidup," ucapnya lirih.
"Harapannya, tolong Presiden Jokowi dan Menpora perhatikan para mantan atlet ini," sambungnya.
Suyanto berharap nasib baik akan menimpa para atlet yang telah berprestasi dan mengharumkan nama bangsa tersebut. Ia mengaku sedih kala melihat berita tentang sesama mantan atlet yang dipuji dan diberikan janji-janji manis. Namun, kenyataan sebaliknya.
"Mudah-mudahan pemerintahan sekarang, Presiden Jokowi dan Menpora, nggak cuma janji kasih bonus ke atlet sampai Rp5 miliar, Rp2 miliar atau Rp1 miliar. Saya menangis waktu baca berita ada atlet dapat juara dijanjikan bonus mobil, tapi ternyata nggak ada BPKB-nya," ujarnya.
"Mudah-mudahan pemerintahan yang sekarang lebih baik. Ingat, yang bisa mengibarkan bendera Merah-Putih di negara orang lain, selain presiden, yah para atlet yang juara dan berprestasi tersebut," tukasnya.
Suyanto yang mempunyai nama di ring Yanto de Villa mengaku mengenal betul kehidupan sahabatnya itu. Sebab, ia dan Hasan telah bersahabat sejak sama-sama berlatih dan tinggal di Sasana Arseto besutan Taurino Tidar di Jalan Taman Tanah Abang III, Jakarta Pusat.
Suyanto mengisahkan, perjalanan hidup seorang Hasan Lobubun menjadi petinju profesional hingga menjadi pemulung ibukota sebelum diboyong oleh keluarga ke kampung halaman, Ambon, Maluku.
Awalnya, Hasan saat berusia sekitar 15 tahun dibawa oleh pamannya yang seorang anggota TNI dari kampung halaman, Ambon, ke Sasana Arseto, di Jakpus, pada 1980.
"Waktu itu, saya sudah gabung di Sasana Arseto dan sedang nongkrong di pos RW dekat sasana. Lalu, saya didatangi om-nya yang bawa Hasan, dia tanya lokasi rumah Taurino Tidar.
Nah, sejak itu dia tinggal di mess sasana. Awal karir, prestasinya lumayan," kata kata mantan petinju nasional yang punya julukan di ring 'Yanto de Villa' itu saat ditemui di Muay Thai Camp, Bilangan Jalan Taman Sari Raya, Jakarta Barat, akhir pekan lalu.
Sejumlah prestasi pernah diukir oleh Hasan sepanjang berkarir di dunia tinju. Puncaknya, ia menyabet Juara nasional kelas Bantam Yunior (50,8 Kg) pada 1987.
Menurut Suyanto, baik dirinya maupun Hasan, dielu-elukan banyak pihak saat masa kejayaan kala itu. Bonus pun kerap mengalir kepadanya kala menang KO suatu pertandingan.
"Saya dan Hasan waktu berprestasi, nggak banyak rasa sukanya. Paling dapat dana dari promotor sama bos yang hobi tinju. Kalau menang KO, dapat dari promotor atau bos Rp100 sampai Rp200 ribu. Saat itu sudah besar," ujarnya.
"Kami sama-sama tinggal di mess Sasana Arseto. Waktu berprestasi, Taurino Tidar mengajarkan para atlet untuk menabung. Tapi, namanya kita masih muda agak bandel, kurang ikuti nasihatnya, jadi uangnya paling dapat Rp100 ribu dipakai untuk biaya sehari-hari dan jajan. Lagipula, kami bertanding tidak setiap hari atau setiap minggu," sambungnya.
Hasan berpindah-pindah sasana untuk mematangkan kemampuan olahraga tinju sebelum akhirnya masa-masa sulit menderanya pada 1990. Beruntung, pemilik Sasana Arseto, Taurino Tidar bersedia menampungnya.
Tidak adanya pekerjaan tetap dan pemasukan membuat istri dan dua anak meninggalkan Hasan. Mereka berpisah sejak 1993.
Demi memenuhi kebutuhan hidup, akhirnya Hasan lebih sering meninggalkan Sasana Arseto untuk mencari pekerjaan serabutan, mulai menjadi tukang parkir hingga menjadi pemulung.
Setelah Hasan memilih hidup menjadi pemulung, Suyanto dengan alasan sama untuk memenuhi kebutuhan hidup juga beralih profesi sebagai pedagang rokok. Bermodal gerobak, ia menjajakan rokok, makanan dan minuman ringan di tepi taman atau sekitar 50 meter dari Sasana Arseto.
"Hasan lebih dulu keluar dari Sasana Arseto. Dia sudah lebih 10 tahun jadi memulung dan tinggalnya tidak jelas. Malam dan siang dia memulung. Dia pernah cerita paling dapat Rp20 ribu dari menjual barang-barang yang dipulungnya di seputar Jalan Taman Tanah Abang III," jelas Suyanto.
Di sela aktivitasnya mengais barang rongsokan, Hasan kerap mampir untuk sekadar berteduh dan mengobrol dengan Suyanto di gerobak warung rokok tempatnya berdagang di tepi taman.
"Jadi, Hasan lebih dulu keluar dari Sasana Arseto dan memulung. Baru kemudian saya keluar dan buka warung rokok pakai gerobak di pinggir taman dekat Sasana Arseto," kenang Suyanto.
Menurutnya, sebagian besar warga Jalan Taman Tanah Abang III mengenal Hasan adalah mantan atlet tinju nasional karena memang telah lama tinggal di wilayah tersebut. Iba atau rasa kasihan tak cukup membantu Hasan sehingga ia terus melakoni pekerjaan sebagai pemulung di kawasan perumahan itu.
"Banyak warga kasihan dengan Hasan yang keliling jadi pemulung. Tapi, mereka juga nggak bisa bantu apa-apa," ujarnya.
"Saya juga kasihan, miris waktu lihat nasib Hasan. Dia tidurnya pindah-pindah, mengemper. Dia pernah tidur di lantai puskesmas dekat taman tanpa alas," sambungnya.
Suyanto menegaskan, baik dirinya maupun Hasan menjadi seorang petinju bukan dilatarbelakangi untuk mengejar materi. Hal itu semata untuk menyalurkan hobi dan kemampuan bertinju.
Menurutnya, saat ini baik dirinya maupun Hasan sebagai mantan petinju telah mengalami kerusakan saraf sebagai efek dari sejumlah pertandingan tinju. Dan itu pun telah disadari sejak awal menjadi saat mengawali karir sebagai petinju.
"Hasan lebih parah lagi dibandingkan saya. Karena selain daya ingat dan pendengaran yang berkurang, saraf di otaknya juga rusak. Dia sulit nyambung kalau diajak komunikasi sama orang lain. Tapi, saya sudah kenal lama dengan dia sehingga mengerti maksudnya saat sedang mengobrol dengannya," ujarnya.
Menurut Suyanto, baik dirinya maupun Hasan kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah kendati presiden dan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) telah beberapa kali berganti.
Seingatnya, dirinya hanya sekali diundang ke Istana Negara untuk bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat kepemimpinan Menpora Adhiyaksa Dault pada 2007. Pun saat itu tidak ada tindaklanjutnya.
Ia mengaku pernah ditawari oleh pihak Kemenpora disediakan kios di salah satu blok Pasar Tanah Abang untuk berjualan pakaian. Namun, ia tidak bisa menerimanya lantaran kekhawatiran merugi mengingat dirinya tidak berpengalaman berjualan pakaian dan tak mempunyai modal.
"Kemenpora dan pemerintah nggak ada perhatian kepada kami. Yah, meski kecewa, ini sudah risiko. Tapi, saya lebih kecewa lagi dengan aparat di Jakarta karena gerobak warung rokok saya diangkut. Padahal, saat itu gerobak itu jadi satu-satunya saya tempat saya untuk menyambung hidup," ucapnya lirih.
"Harapannya, tolong Presiden Jokowi dan Menpora perhatikan para mantan atlet ini," sambungnya.
Suyanto berharap nasib baik akan menimpa para atlet yang telah berprestasi dan mengharumkan nama bangsa tersebut. Ia mengaku sedih kala melihat berita tentang sesama mantan atlet yang dipuji dan diberikan janji-janji manis. Namun, kenyataan sebaliknya.
"Mudah-mudahan pemerintahan sekarang, Presiden Jokowi dan Menpora, nggak cuma janji kasih bonus ke atlet sampai Rp5 miliar, Rp2 miliar atau Rp1 miliar. Saya menangis waktu baca berita ada atlet dapat juara dijanjikan bonus mobil, tapi ternyata nggak ada BPKB-nya," ujarnya.
"Mudah-mudahan pemerintahan yang sekarang lebih baik. Ingat, yang bisa mengibarkan bendera Merah-Putih di negara orang lain, selain presiden, yah para atlet yang juara dan berprestasi tersebut," tukasnya.
Tag :
Ragam
0 Comments for "Kisah Petinju Nasional Yang Dulu Di Puji Kini Jadi Pemulung, Tidur di Emperan Puskesmas"
*Berkomentarlah yang Baik dan Sopan
*Silahkan Beri Tanggapan Sesuai Topik Artikel diatas
*Dilarang SPAM dan Menyertakan Link Aktif