Pengumuman hasil ujian nasional sepertinya menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua siswa-siswi sekolah di Indonesia. Hari di mana mereka mengetahui hasil dari proses belajar selama bertahun-tahun yang suatu saat akan menjadi sejarah dan dikenang. Kalau dulu hanya murid SMA atau SMK saja yang nampak sangat meresapi momen ini, saat ini siswa-siswi SD dan SMP juga nampaknya dibuat deg-degan ketika hari ini tiba.
Dulunya sih momen itu jadi hari yang sakral di mana semua tangis bahagia tumpah ruah, tapi nampaknya sekarang kesakralan hari kelulusan sudah berganti menjadi euforia penuh warna kebisingan. Lihat saja setiap selepas pengumuman, anak-anak pasti merayakannya dengan mencorat-coret seragam putih mereka dan melakukan konvoi di jalanan. Yang dulunya masyarakat ikut bahagia melihat momen kelulusan itu, malah sekarang jadi ilfil.
Memang benar bahwa tahun 90-an adalah masa-masa penuh warna. Di mana kita semua, khususnya anak-anak yang masih asik melakukan permainan tradisional super seru ataupun dimanjakan dengan berbagai tontonan kartun favorit. Warna-warni tahun 90-an itu ternyata juga dapat dilihat dari seragam siswa-siswi SMA. Menurut penuturan salah satu dosen di kota pelajar, Yogyakarta, sebelum tahun 1990, tidak ada pelajar yang melakukan aksi corat-coret seragam dan konvoi jalanan.
Barulah setelah Ebtanas diberlakukan, budaya semacam itu mulai terbentuk. Sistem Ebtanas di kala itu dianggap sebagai beban oleh banyak anak sekolah. Maka dari itu setelah dinyatakan berhasil, mereka mengungkapkan rasa bebasnya dengan mencorat-coret seragam. Selain itu, kebiasaan tersebut juga disebut-sebut sebagai bentuk protes karena murid-murid zaman dahulu terkesan terlalu patuh. Itulah kemudian mereka menganggap corat-coret seragam sebagai salah satu simbol kebebasan siswa yang telah lolos dari beban ujian.
Kebiasaan ‘mengotori’ seragam yang sudah menemani mereka selama kurang lebih tiga tahun ini memang dikatakan mulai berkembang di awal 90-an. Saat itu memang tidak semua murid melakukannya, namun hanya sedikit sekali jumlah siswa yang kekeuh mempertahankan seragamnya tetap bersih. Pada mulanya, anak sekolah melakukan kebiasaan ini ketika sudah benar-benar dinyatakan lulus oleh pihak sekolah.
Tapi pada antara tahun 1996 sampai 1997, nampaknya keinginan mereka untuk mewarnai seragam sekolah ini menjadi tak terbendung. Pada tahun tersebut, kebanyakan sekolah memilih untuk mengirim pengumuman ke rumah masing-masih siswa. Dan bukannya menunggu pengumuman tiba, mayoritas siswa masih tetap saja nekat mengunjungi sekolah dan mulai bermain coret-coret. Sejak itulah kemudian ada golongan siswa yang mulai menerapkan coret-coret meskipun pengumuman kelulusan belum mereka terima.
Bagi para murid pelaku corat-coret, mungkin mereka senang-senang saja melakukannya sambil haha hihi bersama kawan-kawannya. Namun dalam pandangan orang lain, tentu saja budaya ini sudah terlampau kebablasan dan terkesan hanya buang-buang uang. Bayangkan saja bila mereka bisa diajak berpikir jangka panjang, tentu saja hal tersebut bisa dihindari. Seragam putih yang masih sangat layak itu harusnya bisa disimpan untuk disumbangkan atau diberikan pada adik kelas yang membutuhkan.
Tapi nyatanya mereka lebih memilih mendapat kesenangan sementara. Salah satu ciri khas murid sekolah itu dengan sekejap mereka ‘kotori’. Seragam yang selama ini jadi identitas dan teman sehari-hari seketika berubah menjadi sehelai kain yang mungkin tak pantas lagi untuk dikenakan. Memang sih ada beberapa siswa yang berdalih menyimpannya sebagai kenang-kenangan, tapi sepertinya ada lebih banyak murid yang kemudian hanya menjadikannya sebagai kain lap. Bila seperti ini, apa esensi hasil kalian belajar selama bertahun-tahun? Belum lagi berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli aneka spidol dan cat untuk mengotori sang seragam. Bukankah akan lebih baik bila uang itu disimpan sebagai bekal kuliah? Ingat, tugas kalian tidak berhenti saat melihat kata “LULUS”, perjalanan kalian masih sangat panjang di depan sana.
Seperti yang sudah disebutkan bahwa perayaan kelulusan dengan corat-coret seragam disertai konvoi jalanan hanya akan memicu kejengkelan lingkungan sekitar. Oleh karena itu tak jarang bila tanggal kelulusan tiba, ada banyak anggota kepolisian berjaga di jalan-jalan untuk mencegah atraksi ugal-ugalan para ABG yang baru lulus. Bahkan ada juga di salah satu kota di Jawa Timur, sekelompok ibu-ibu dengan beraninya mengguyur pasukan konvoi dengan air guna menghentikan aksi tersebut.
Namun di luar itu semua, ternyata masih ada anak-anak yang mampu berpikir ‘jernih’. Baru-baru ini sekelompok murid salah satu SMA di Yogyakarta melakukan aksi pembagian nasi kotak dan susu pada masyarakat guna merayakan kelulusan mereka. Aksi itu dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur atas hasil yang mereka peroleh. Nah kalau seperti ini kan masyarakat justru bangga dan nggak ada yang namanya rasa jengkel lagi.
Ternyata tradisi mewarnai seragam ini awalnya adalah sebuah simbol kebebasan karena telah terbebas dari beban ujian. Bila menurut anak sekolah hal ini terkesan biasa, namun ternyata di mata masyarakat hal ini terlihat negatif. Daripada mencorat-coret seragam, alangkah lebih baiknya memberikannya pada yang membutuhkan. Boleh jadi sekarang kalian bahagia bukan main melihat coretan pada seragam, namun akan ada waktunya di mana kalian merasa sedih saat dosen mencoret tugas kalian.
Dulunya sih momen itu jadi hari yang sakral di mana semua tangis bahagia tumpah ruah, tapi nampaknya sekarang kesakralan hari kelulusan sudah berganti menjadi euforia penuh warna kebisingan. Lihat saja setiap selepas pengumuman, anak-anak pasti merayakannya dengan mencorat-coret seragam putih mereka dan melakukan konvoi di jalanan. Yang dulunya masyarakat ikut bahagia melihat momen kelulusan itu, malah sekarang jadi ilfil.
Budaya ini sudah ada sejak awal tahun 90-an
Memang benar bahwa tahun 90-an adalah masa-masa penuh warna. Di mana kita semua, khususnya anak-anak yang masih asik melakukan permainan tradisional super seru ataupun dimanjakan dengan berbagai tontonan kartun favorit. Warna-warni tahun 90-an itu ternyata juga dapat dilihat dari seragam siswa-siswi SMA. Menurut penuturan salah satu dosen di kota pelajar, Yogyakarta, sebelum tahun 1990, tidak ada pelajar yang melakukan aksi corat-coret seragam dan konvoi jalanan.
Barulah setelah Ebtanas diberlakukan, budaya semacam itu mulai terbentuk. Sistem Ebtanas di kala itu dianggap sebagai beban oleh banyak anak sekolah. Maka dari itu setelah dinyatakan berhasil, mereka mengungkapkan rasa bebasnya dengan mencorat-coret seragam. Selain itu, kebiasaan tersebut juga disebut-sebut sebagai bentuk protes karena murid-murid zaman dahulu terkesan terlalu patuh. Itulah kemudian mereka menganggap corat-coret seragam sebagai salah satu simbol kebebasan siswa yang telah lolos dari beban ujian.
Tradisi mulai bergeser pada sekitar tahun 1996
Kebiasaan ‘mengotori’ seragam yang sudah menemani mereka selama kurang lebih tiga tahun ini memang dikatakan mulai berkembang di awal 90-an. Saat itu memang tidak semua murid melakukannya, namun hanya sedikit sekali jumlah siswa yang kekeuh mempertahankan seragamnya tetap bersih. Pada mulanya, anak sekolah melakukan kebiasaan ini ketika sudah benar-benar dinyatakan lulus oleh pihak sekolah.
Tapi pada antara tahun 1996 sampai 1997, nampaknya keinginan mereka untuk mewarnai seragam sekolah ini menjadi tak terbendung. Pada tahun tersebut, kebanyakan sekolah memilih untuk mengirim pengumuman ke rumah masing-masih siswa. Dan bukannya menunggu pengumuman tiba, mayoritas siswa masih tetap saja nekat mengunjungi sekolah dan mulai bermain coret-coret. Sejak itulah kemudian ada golongan siswa yang mulai menerapkan coret-coret meskipun pengumuman kelulusan belum mereka terima.
Budaya corat-coret sudah sangat kebablasan
Bagi para murid pelaku corat-coret, mungkin mereka senang-senang saja melakukannya sambil haha hihi bersama kawan-kawannya. Namun dalam pandangan orang lain, tentu saja budaya ini sudah terlampau kebablasan dan terkesan hanya buang-buang uang. Bayangkan saja bila mereka bisa diajak berpikir jangka panjang, tentu saja hal tersebut bisa dihindari. Seragam putih yang masih sangat layak itu harusnya bisa disimpan untuk disumbangkan atau diberikan pada adik kelas yang membutuhkan.
Tapi nyatanya mereka lebih memilih mendapat kesenangan sementara. Salah satu ciri khas murid sekolah itu dengan sekejap mereka ‘kotori’. Seragam yang selama ini jadi identitas dan teman sehari-hari seketika berubah menjadi sehelai kain yang mungkin tak pantas lagi untuk dikenakan. Memang sih ada beberapa siswa yang berdalih menyimpannya sebagai kenang-kenangan, tapi sepertinya ada lebih banyak murid yang kemudian hanya menjadikannya sebagai kain lap. Bila seperti ini, apa esensi hasil kalian belajar selama bertahun-tahun? Belum lagi berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli aneka spidol dan cat untuk mengotori sang seragam. Bukankah akan lebih baik bila uang itu disimpan sebagai bekal kuliah? Ingat, tugas kalian tidak berhenti saat melihat kata “LULUS”, perjalanan kalian masih sangat panjang di depan sana.
Masih ada cara perayaan kelulusan yang lebih pantas dilakukan
Seperti yang sudah disebutkan bahwa perayaan kelulusan dengan corat-coret seragam disertai konvoi jalanan hanya akan memicu kejengkelan lingkungan sekitar. Oleh karena itu tak jarang bila tanggal kelulusan tiba, ada banyak anggota kepolisian berjaga di jalan-jalan untuk mencegah atraksi ugal-ugalan para ABG yang baru lulus. Bahkan ada juga di salah satu kota di Jawa Timur, sekelompok ibu-ibu dengan beraninya mengguyur pasukan konvoi dengan air guna menghentikan aksi tersebut.
Namun di luar itu semua, ternyata masih ada anak-anak yang mampu berpikir ‘jernih’. Baru-baru ini sekelompok murid salah satu SMA di Yogyakarta melakukan aksi pembagian nasi kotak dan susu pada masyarakat guna merayakan kelulusan mereka. Aksi itu dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur atas hasil yang mereka peroleh. Nah kalau seperti ini kan masyarakat justru bangga dan nggak ada yang namanya rasa jengkel lagi.
Ternyata tradisi mewarnai seragam ini awalnya adalah sebuah simbol kebebasan karena telah terbebas dari beban ujian. Bila menurut anak sekolah hal ini terkesan biasa, namun ternyata di mata masyarakat hal ini terlihat negatif. Daripada mencorat-coret seragam, alangkah lebih baiknya memberikannya pada yang membutuhkan. Boleh jadi sekarang kalian bahagia bukan main melihat coretan pada seragam, namun akan ada waktunya di mana kalian merasa sedih saat dosen mencoret tugas kalian.
Tag :
Peristiwa
0 Comments for "Asal Mula Budaya "Mewarnai Seragam" Saat Kelulusan Sekolah"
*Berkomentarlah yang Baik dan Sopan
*Silahkan Beri Tanggapan Sesuai Topik Artikel diatas
*Dilarang SPAM dan Menyertakan Link Aktif